Pemerintah Vs Pedagang Kaki Lima(PKL)
Hampir setiap hari berita di televisi-televisi atau media cetak kita, dipenuhi tentang penertiban wilayah-wilayah yang dihuni Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh aparat trantib dan aparat keamanan daerah. Ironisnya, setiap pemuatan berita tentang penertiban PKL selalu dibarengi dengan bentrok fisik dan selalu ada korban. Hal itu terjadi terus-menerus bagaikan aktivitas yang sudah menjadi kemestian adanya. Sehingga gambaran yang nampak di permukaan adalah, sebuah potret masyarakat yang selalu didera konflik terus-menerus tanpa ada kepastian penyelesaian. Atau memang jenis masyarakat kita -- dari mulai penguasa sampai rakyatnya -- adalah masyarakat yang "sakit". Sakit di sini dimaknai, meminjam istilah ahli psikologi yang dinamakan "patologi sosial", yakni semacam penyakit jiwa yang kaitannya dengan pola hubungan sosial.
Oleh karena itu, dalam konteks untuk mencari jalan keluar yang win-win solution diatara kedua pihak, semestinya ada alat kontrol selain perundang-undangan, yakni pendekatan-pendekatan yang sifatnya sosio-kultural. Sosio-kultural yang dimaksud adalah pendekatan yang melibatkan tradisi-tradisi setempat dengan tidak melepaskan sama sekali aturan perundang-undangan yang berlaku. Semisal, menertibkan PKL di daerah yang nota-bene masyarakat religius, maka pemerintah dalam hal ini mengikutsertakan tokoh-tokoh agama atau masyarakat yang dianggap mempunyai kharisma oleh mereka.
Prioritas yang paling penting bagi pemerintah daerah dalam hal ini, bahwa pemerintah melalui aparat trantib dan aparat keamanannya berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari dari bentrok fisik dengan PKL. Bagaimanapun juga, mereka (PKL) adalah anak-anak bangsa yang mempunyai hak yang sama di mata hukum untuk mencari penghidupan yang layak selagi pemerintah tidak dapat membantu hajat hidup mereka. Pemerintah di sini bukanlah satu-satunya yang memiliki seluruh aset bangsa ini. Pemerintah seyognya menjadi "serve of society" atau pelayan masyarakat, bukan sebaliknya sebagai "tuan tanah" yang selalu menghakimi dengan cemeti pada para pelayan-pelayannya. Mungkin realitas inilah yang salama ini terjadi di negeri ini?
http://yoeswibi.blogspot.com/2007/09/pemerintah-vs-pedagang-kaki-lima-pkl.html
diunduh tanggal 28 april 2010 pukul 17.01 wib
Rabu, 28 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saya sependapat dengan tulisan diatas, mengapa penertiban Pedagang Kaki Lima selalu berujung kerusuhan dan bentrok fisik. Seharusnya pemerintah melihat bagaimana cara penyelesaian yang bijak untuk menertibkan PKL dan berikutnya dicari solusi yang tepat agar mereka tidak kehilangan mata pencaharian mereka. Mungkin contohnya bisa dilakukan dengan membuka lahan khusus untuk PKL sehingga mereka dapat tetap berjualan tapi tidak mengganggu keindahan kota. Misalnya sebuah lahan yang dibuka untuk PKL yang khusus berjualan makanan, atau yang khusus berjualan buah-buahan, dsb. Sebenarnya para PKL melakukan penolakan untuk dipindahkan atau dibongkar karena mereka bingung akan kemana mereka mencari penghasilan, dan rasa ketakutan itulah yang membuat mereka menjadi berani melawan aparat. Bagaimanapun juga para PKL hanya mencari sesuap nasi untuk menyambung hidup mereka, jadi diharapkan pemerintah dapat mencari solusi terbaik untuk penertiban pedagang kaki lima.
BalasHapus